Mendalami indahnya
Indonesia sejauh mata menikmat, indahnya paronama alam serta ramahnya sapaan
manusia. Akan tetapi kita sendiri sebagai masyarakat pribumi sering tidak
menyadari mengenai keindahan sesungguhnya dari Indonesia kita ini. Karunia
Tuhan bukan hanya sebatas keindahan Alam semata, akan tetapi juga keindahan
akan sebuah perbedaan. Bayangkan saja jumlah pulau-pulau yang Tuhan taburkan di
bumi kita Indonesia ini, sepaket dengan masyarakat didalamnya. Keberagaman dan
kebersamaan berjalan selaras dan saling padu dalam bentuk "Bhineka Tunggal
Ika". Memberikan kita ikatan akan sebuah bangsa yang padu dan berwarna.
Berkah ataukah sebuah Bencana? Melihat fakta yang terjadi saat ini sungguh
pedih rasanya. Penghinaan, Caci Maki, Diskriminasi horizontal dan banyak contoh
lain yang memberikan citra mulai pudarnya beberapa warna yang dimiliki oleh
Indonesia. Tanpa kita sadari hal ini telah berkamuflase dihadapan kita. Hina
dan Caci Maki kadang menjadi candaan yang kita anggap biasa. Mungkina iya bagi
sebagian orang akan tetapi hal itu tidak berlaku juga untuk sebagian kalangan.
Tentu hal ini wajar karena setiap orang memiliki yang namanya prinsip
masing-masing. Akan tetapi sebagai bangsa yang telahir dengan warna warni
didalamnya tentu kita perlu memahami yang namanya Tenggang Rasa. Dan, itu
menjadi alasan mengapa hal ini menjadi sebuah materi yang terlah diajarkan
kepada para pembelajar diusia dini. Semenjak duduk di sekolah dasar kita telah
mengunyah habis apa yang dinamakan dengan Tenggang Rasa didalam piring
pelajaran bernama Pendidikan Kewarganegaraan. Akan tetapi kita sering
mengabaikannya dan hanya menganggapnya sebuah kewajiban sekolah, bukan makna
sesungguhnya dari itu.
Selain itu sejak akhir
dari abad 20 hingga dimulainya awal 21 banyak penanda akan ‘mulai’ runtuhnya
budaya kita yang satu ini. Pertikaian dimana-mana, antar suku maupun agama.
Melihat pertikaian yang terjadi diberbagai daerah ini merupakan sebuah pertanda
yang harusnya kita sigapi dengan strategis. Kita sebagai pilar bangsa
seharusnya tidak ikut-ikutan dalam pengrusakan tersebut. Akan tetapi beda cita
beda cerita. Tidak terhitung jumlah pemuda yang menjadi motor dari pergolakan
tersebut. Kepahitan yang melanda membawa warisan berupa mimipi buruk tentang
berbagai stigma. Stigma-stigma mengalir dimasyarakat derah konflik. Saya pernah
berbincang dengan seorang pemilik mobil pick up yang biasa menyewa mobilnya
untuk jasa pindahan. Beliau berbincang mengnai anaknya yang sudah mulai tumbuh
besar dan juga makanan kesukaan istrinya. Perbincangan beranjak menuju bahasan
mengenai asal daerah. Dimulai dengan pertanyaan “Bapak asli mana?” beliau
menjawab sambil menyingkirkan keringat dari dahinya “Asli sih dari tapi
udah 30 tahun di Jawa ya sekarang jadi orang Jawa hahaha”. Canda-canda mulai
mengalir hingga akhirnya perbincangan bergeser bertemakan konflik di daerah
sampit kala itu. Beliau tidak begitu berkomentar banyak, akan tetapi titik yang
menarik diri saya yaitu komentar miring beliau mengenai sebuah etnis yang
memang saat itu terkait didalamnya. Intonasi beliau cukup lancar dalam
pengucapannya, tidak gugup seolah ditutup-tutupi juga tidak terlalu berapi-api
sekan sedang membual. Bukti jelas mengenai mimpi buruk akan sebuah pertikaian
pun terlihat jelas. Warna kelam yang mulai memudarkan kontrasnya pelangi
budaya, ras, etnisitas juga agama. Rasa yang mulai menjadi hambar dikarenakan
satu dua kejadian seharusnya memberikan kita kesadaran untuk lebih memahami
akan betapa berharganya warisan dan tanggung jawab yang pangku oleh kita, oleh
kita generasi muda. Berhentilah memandang sebelah mata kawan mu. Sudahi
celotehan rasisme kita. Mari bersama meraih kembali Indahnya warna warni bangsa
ini, dan mulai bangun kembali Indonesia. Indonesia ku tercinta Bhineka Tunggal
Ika. Jangan biarkan hanya sebatas pajangan didepan kelas atau hanya dicengkram
oleh sang garuda. Mari ambil dan ikatkan dikening masing-masing. Dan, jadikan
itu semangat pembangunan serta pemersatu bangsa.
"Kita Memang
berbeda, akan tetapi pelangi itu menjadi indah karena berbeda"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar